REVIEW
JURNAL
“Pengaruh
Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep
Frying) terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans”
Minyak merupakan
campuran dari ester asam lemak dengan gliserol. Minyak nabati merupakan minyak
yang biasa digunakan untuk menggoreng dengan 80% kandungan asam lemak tak jenuh
jenis asam oleat dan linoleat, namun, minyak kelapa sawit dengan 2 kali proses
penyaringan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi. Hal ini
menjadikan minyak tersebut mudah rusak apabila dilakukan penggorengan pada suhu
tinggu serta waktu yang lama kontak dengan oksigen. Proses penggorengan dengan
cara tersebut disebut deep frying.
Menggoreng cara deep frying membutuhkan
minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya.
Asam lemak trans dan asam lemak cis dibedakan atas bentuk isomernya.
Ikatan rangkap cis membentuk struktur
bengkok sedangkan trans memiliki
struktur lebih linier yang secara termodinamik lebih stabil daripada cis dan menyerupai asam lemak jenuh. Minyak cenderung memiliki ikatan
rangkap cis (asam oleat) yang
menunjukkan terdapat asam lemak tak jenuh dimana proses pemanasan selama
pengolahan minyak dapat mempengaruhi terbentuknya asam lemak trans (asam elaidat) atau disebut pula
proses hidrogenasi. Tidak hanya mengubah bentuk cis menjadi trans, tetapi
turut menghasilkan jumlah lemak jenuh lebih banyak.
Kerusakan oksidasi
minyak umumnya terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi dapat terjadi pula
pada asam lemak jenuh apabila suhu pemanasan minyak yang digunakan lebih dari
100ºC. Sedangkan hidrolisis mudah terjadi pada minyak dengan asam lemak jenuh
rantai panjang.
Metode
Penelitian
Peneliti melakukan
metode eksperimental di laboratorium dengan 2 perlakuan, yaitu minyak hasil
penggorengan singkong dan daging dengan masing-masing 4 kali pengulangan pada
suhu 200ºC. Sampel singkong dan daging yang digunakan memiliki ukuran/porsi
yang sama, yaitu 50 gram. Adapun alat yang digunakan untuk melakukan pemisahan
konfigurasi asam lemak cis dan trans, yaitu Gas Chromatography dimana komponen dipisahkan dengan penguapan oleh
gas inert dan dilewatkan melalui suatu kolom/fase diam.
Minyak yang digunakan
untuk pengulangan adalah minyak yang sama tanpa dilakukan penambahan volume
minyak segar. Identifikasi terhadap komposisi asam lemak dilakukan pada 2
sampel, yakni minyak hasil menggoreng singkong dan minyak hasil menggoreng
daging pada masing-masing waktu yang telah ditentukan. Sampel minyak diambil
langsung setiap proses penggorengan, kemudian minyak dalam ketel didiamkan
hingga dingin dan dilanjutkan dengan penggorengan berikutnya dan begitu
seterusnya hingga pengulangan keempat untuk masing-masing sampel.
Hasil
dan Pembahasan
Uji asam lemak trans pada minyak goreng setelah
menggoreng singkong menunjukkan penurunan kadar asam oleat pada penggorengan
pertama tanpa pembentukan asam elaidat. Lemak trans (asam elaidat) baru terbentuk setelah minyak dipanaskan pada
pengulangan ke-2 dengan waktu 30 menit. Jumlah ini terus meningkat pada
penggorengan ke-3 dan ke-4. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya asosiasi
negatif antara asam elaidat dengan asam oleat, yakni penurunan kadar asam oleat
diikuti dengan peningkatan kadar asam elaidat. Peningkatan tersebut terjadi
karena adanya penyerapan minyak yang setara dengan jumlah air yang
diuapkan oleh bahan makanan selama proses penggorengan.
Uji asam lemak trans pada minyak goreng setelah
menggoreng daging menunjukkan pembentukan asam lemak trans pada pemanasan pertama minyak dua menit berikutnya. Sama
halnya dengan sampel menggoreng singkong, jumlah asam elaidat terus meningkat
bersamaan dengan penurunan asam oleat, hingga terjadi penurunan jumlah asam
elaidat pada pengulangan ke-4. Penurunan asam elaidat tersebut menunjukkan
terjadinya kerusakan ikatan isomer trans yang
telah ada.
Apabila dibandingkan,
sampel minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng daging lebih cepat
membentuk lemak trans. Hal ini
mungkin terjadi akibat adanya pelarutan asam lemak trans dari dalam daging selama proses pemanasan. Selain itu, waktu
yang dibutuhkan untuk menggoreng daging relaitf lebih singkat daripada singkong
karena daging telah berada dalam keadaan pre-cooked.
Proses menggoreng
dengan cara deep frying dan
pengulangan dapat menyebabkan terjadinya isomerasi geometri dan posisi.
Perubahan suhu juga dapat mempengaruhi proses pembentukan isomer geometri dari cis menjadi trans yang lebih stabil, hal ini ditandai dengan perubahan
kecepatan reaksi dan energy aktivasi pembentukan isomer. Kerusakan minyak
setelah proses deep frying tergantung
dari jenis minyak, mutu minyak goreng segar, serta perlakuan terhadap minyak
ulangan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan agar
penggorengan dilakukan dengan api sedang (<200ºC) dan penggunaan minyak
sebaiknya tidak melebihi 2 kali pengulangan.