Around The World

Kamis, 03 Maret 2016

REVIEW JURNAL

Berikut Review Jurnal yang pernah dipublikasikan sebagai tugas mata kuliah "Teknologi Pengolahan Lemak dan Minyak Makan"

REVIEW JURNAL
“Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep Frying) terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans”

Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol. Minyak nabati merupakan minyak yang biasa digunakan untuk menggoreng dengan 80% kandungan asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, namun, minyak kelapa sawit dengan 2 kali proses penyaringan memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi. Hal ini menjadikan minyak tersebut mudah rusak apabila dilakukan penggorengan pada suhu tinggu serta waktu yang lama kontak dengan oksigen. Proses penggorengan dengan cara tersebut disebut deep frying. Menggoreng cara deep frying membutuhkan minyak dalam jumlah banyak sehingga bahan makanan dapat terendam seluruhnya.
Asam lemak trans dan asam lemak cis dibedakan atas bentuk isomernya. Ikatan rangkap cis membentuk struktur bengkok sedangkan trans memiliki struktur lebih linier yang secara termodinamik lebih stabil daripada cis dan menyerupai asam lemak jenuh. Minyak cenderung memiliki ikatan rangkap cis (asam oleat) yang menunjukkan terdapat asam lemak tak jenuh dimana proses pemanasan selama pengolahan minyak dapat mempengaruhi terbentuknya asam lemak trans (asam elaidat) atau disebut pula proses hidrogenasi. Tidak hanya mengubah bentuk cis menjadi trans, tetapi turut menghasilkan jumlah lemak jenuh lebih banyak. 
Kerusakan oksidasi minyak umumnya terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi dapat terjadi pula pada asam lemak jenuh apabila suhu pemanasan minyak yang digunakan lebih dari 100ºC. Sedangkan hidrolisis mudah terjadi pada minyak dengan asam lemak jenuh rantai panjang.

Metode Penelitian
Peneliti melakukan metode eksperimental di laboratorium dengan 2 perlakuan, yaitu minyak hasil penggorengan singkong dan daging dengan masing-masing 4 kali pengulangan pada suhu 200ºC. Sampel singkong dan daging yang digunakan memiliki ukuran/porsi yang sama, yaitu 50 gram. Adapun alat yang digunakan untuk melakukan pemisahan konfigurasi asam lemak cis dan trans, yaitu Gas Chromatography dimana komponen dipisahkan dengan penguapan oleh gas inert dan dilewatkan melalui suatu kolom/fase diam.
Minyak yang digunakan untuk pengulangan adalah minyak yang sama tanpa dilakukan penambahan volume minyak segar. Identifikasi terhadap komposisi asam lemak dilakukan pada 2 sampel, yakni minyak hasil menggoreng singkong dan minyak hasil menggoreng daging pada masing-masing waktu yang telah ditentukan. Sampel minyak diambil langsung setiap proses penggorengan, kemudian minyak dalam ketel didiamkan hingga dingin dan dilanjutkan dengan penggorengan berikutnya dan begitu seterusnya hingga pengulangan keempat untuk masing-masing sampel.


Hasil dan Pembahasan
Uji asam lemak trans pada minyak goreng setelah menggoreng singkong menunjukkan penurunan kadar asam oleat pada penggorengan pertama tanpa pembentukan asam elaidat. Lemak trans (asam elaidat) baru terbentuk setelah minyak dipanaskan pada pengulangan ke-2 dengan waktu 30 menit. Jumlah ini terus meningkat pada penggorengan ke-3 dan ke-4. Hasil uji korelasi menunjukkan adanya asosiasi negatif antara asam elaidat dengan asam oleat, yakni penurunan kadar asam oleat diikuti dengan peningkatan kadar asam elaidat. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya penyerapan minyak yang setara dengan jumlah air yang diuapkan oleh bahan makanan selama proses penggorengan.

Uji asam lemak trans pada minyak goreng setelah menggoreng daging menunjukkan pembentukan asam lemak trans pada pemanasan pertama minyak dua menit berikutnya. Sama halnya dengan sampel menggoreng singkong, jumlah asam elaidat terus meningkat bersamaan dengan penurunan asam oleat, hingga terjadi penurunan jumlah asam elaidat pada pengulangan ke-4. Penurunan asam elaidat tersebut menunjukkan terjadinya kerusakan ikatan isomer trans yang telah ada.
Apabila dibandingkan, sampel minyak goreng yang digunakan untuk menggoreng daging lebih cepat membentuk lemak trans. Hal ini mungkin terjadi akibat adanya pelarutan asam lemak trans dari dalam daging selama proses pemanasan. Selain itu, waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng daging relaitf lebih singkat daripada singkong karena daging telah berada dalam keadaan pre-cooked.
Proses menggoreng dengan cara deep frying dan pengulangan dapat menyebabkan terjadinya isomerasi geometri dan posisi. Perubahan suhu juga dapat mempengaruhi proses pembentukan isomer geometri dari cis menjadi trans yang lebih stabil, hal ini ditandai dengan perubahan kecepatan reaksi dan energy aktivasi pembentukan isomer. Kerusakan minyak setelah proses deep frying tergantung dari jenis minyak, mutu minyak goreng segar, serta perlakuan terhadap minyak ulangan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyarankan agar penggorengan dilakukan dengan api sedang (<200ºC) dan penggunaan minyak sebaiknya tidak melebihi 2 kali pengulangan.